Profil Kemampuan Meniru Sosem AUD
PROFIL KEMAMPUAN MENIRU
SOSEM AUD
Ø Dampak Negatif Pola
Prilaku Sosial Meniru Anak Usia 3-4 Tahun
Pada Blog ini saya ingin membahas
dampak negatif pola prilaku sosial anak usia dini. Pola prilaku sosial tidak
hanya berdampak positif saja, tetapi pada prilaku anak yang saya amati saya
mendapatkan dampak negative dari pola prilaku sosial “meniru” terhadap
orang-orang disekitar anak. Dan disini saya membahas prilaku sosial pada anak
usia dini berumur 3 Tahun.
Disini saya mengamati seorang anak
perempuan berinisial EF. EF merupakan anak yang sangat aktif, di usianya 3
Tahun ini, ia sudah bisa melakukan berbagai hal yang anak-anak seusianya belum dapat
melakukan hal tersebut. EF juga anak yang sangat pemberani tidak takut maupun
malu ketika bertemu dengan orang dewasa, dan ia mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan kepadanya.
Pada suatu ketika, EF bermain dengan
temannya, kemudian EF berkelahi dengan temannya tetapi ketika temannya
memukulnya ia tetap diam dan tidak bergerak untuk pergi. Kemudian sang ayah
mengatakan pada EF jika nanti ada yang mengganggunya, EF harus memukul atau
membalas perlakuan temannya. agar temannya merasakan apa yang EF rasakan. Kemudian
saat berada disekolah (play group) kejadian tersebut terulang dan EF mengingat
apa kata ayahnya. Dan, ketika ada temannya yang mengganggunya, EF mendorong lalu
memukul temannya tersebut. Disitu secara tidak langsung membuktikan bahwa EF
mempunyai tingkat penyerapan kata-kata (mengingat sesuatu) dengan baik. Dimana kita
tahu bahwa anak usia dini adalah masa dimana anak mampu menyerap semua
informasi dengan baik, sehingga orang tua atau orang dewasa yang ada
disekitarnya harus dengan hati-hati jika ingin mengatakan sesuatu.
Saya mendapati hal yang seharusnya
tidak EF lakukan. Pada saat saya sedang bersama EF. Saat itu EF bermain sendiri
dan semua berjalan dengan baik, tiba-tiba EF mendatangi kakak saya. Tanpa di
duga EF secara tiba-tiba memegang “bagian dada” kakak saya, dan pada saat itu
kami hanya terkejut mengapa anak berumur 3 Tahun seperti EF dapat melakukan hal
tersebut. Tidak hanya sekali EF melakukan hal tersebut. Dia melakukan hal yang
sama kepada saya, tetapi jika diberitahu tidak boleh melakukan hal itu, EF
semakin melakukannya. Dan ia melakukan hal tersebut dengan tertawa selayaknya
anak kecil yang sedang bahagia ketika bermain. Tetapi saya juga melihat, ketika
EF melakukan hal tersebut ibunya tidak melakukan apa-apa (diam) dan bahkan ibunya tidak manasehati EF atau
memarahinya. Sehingga saya dan kakak saya yang menasehati bahwa EF tidak boleh
seperti itu, tetapi karena yang ia takuti adalah orang tuanya, sehingga apa
yang saya dan kakak saya lakukan tidak ia dengar.
Dikemudian hari, saya berkumpul
dengan ibunya dan EF pun ikut serta. Seperti hari-hari sebelumnya semua
berjalan seperti biasa EF bermain dengan dunianya sendiri dan kami pun
bercerita seperti biasa. Tetapi pada saat EF bertanya kepada kami mengenai mainan
yang sedang ia mainkan dan kami tidak menjawabnya, kemudian EF berlari kearah
saya dan ia memegang “bagian dada” saya seperti di hari sebelumnya EF lakukan. Pada
saat reflek saya hanya “menutupi” tanpa memberitahu EF untuk tidak melakukan
hal tersebut, karena saya ingin melihat reaksi ibunya ketika melihat anaknya
melakukan kembali hal itu. Dan masih sama seperti hari sebelumnya, ibu EF hanya
diam dan tidak menasehati EF.
Kemudian dihari yang sama, saya
menemukan prilaku EF yang tidak saya sangka-sangka. Ketika itu EF duduk berada
didekat saya dan kakak saya, EF sedang bermain handphone (hp) saat itu yang
saya lihat EF membuka Youtube tetapi melihat kartun, dan saya menganggap tidak
menjadi masalah apabila EF membuka youtube untuk menonton acara anak-anak seusianya.
Dan beberapa saat setelah itu EF terlihat bosan dan menyudahi menonton youtube,
kemudian ia memberikan hp itu kepada ibunya. Posisi duduk EF masih didekat saya
dan kakak saya. Tetapi, hal yang menurut saya lebih mengejutkan kembali
terulang dan membuat saya merasa harus “menjaga diri” ketika berada didekat EF.
Yaitu saat EF kembali memegang area sensitive “selain bagian dada” orang lain,
yang mungkin seharusnya anak seusia EF belum berfikir untuk memegang area
terebut, tetapi EF anak berumur 3 Tahun melakukan hal tersebut.
Sontak saat itu saya dan kakak saya
menegurnya, tetapi EF hanya tertawa. Mungkin anak seusia EF belum mengerti
bahwa hal itu tidak baik untuk dilakukan dan EF hanya tahu bahwa itu seperti
mainan yang membuat ia tertawa bahagia. Kemudian saya mengatakan kepada ibunya
mengapa ketika melihat EF melakukan hal tersebut ia hanya diam? ibunya hanya
menjawab “tidak apa-apa, dari pada dia rewel, toh tidak membahayakan bagi
siapa-siapa”. Dan pada saat itu juga, saya mengatakan kepada ibunya bahwa EF
perlu diberi pengertian, takutnya hal-hal yang EF lakukan kepada orang-orang
terdekatnya akan EF lakukan juga kepada teman-temannya. Dimana itu akan
berdampak buruk bagi teman yang EF perlakukan seperti itu, dan menyebabkan EF
dijauhi oleh teman-temannya. Dan karena saya mengatakan seperti itu kepada
ibunya, saat EF melakukannya kembali respon ibunya pun berubah, tidak hanya
diam tetapi dia menasehati dan apabila EF tidak mendengarnya, ibunya pun
memberi kode bahwa ia marah dengan “memelototkan mata”. Saat itu juga EF
berhenti.
Dari pengamatan yang saya lakukan
selama beberapa hari, mengapa EF dapat melakukan hal tersebut yaitu karena EF
tidak mendapat perhatian dari sekelilingnya ketika ia membutuhkan sesuatu
sehingga reflek dari emosi yang muncul EF lampiaskan kehal-hal tersebut. Dan
disini saya juga mengetahui bahwa peran dari orang tua sangat penting. Dari
kejadian sang Ayah mengatakan bahwa EF harus memukul temannya jika temannya
memukul EF dan kemudian EF benar-benar mengikuti apa yang ayahnya katakan. Saya
dapat menyimpulkan bahwa apa yang orang tua katakan kepada anaknya, khususnya
anak usia dini sangat berpengaruh pada diri anak karena pada saat anak
mendengarkan tingkat penyerapan anak sangat baik. Terlebih lagi jika orang
tuanya mengatakan dengan “menyuruh”, tidak sedikit dari anak usia dini akan
mengikuti dan menerapkan dikehidupan sehari-harinya. Kejadian kedua, saat EF
melakukan hal-hal yang tidak baik dan selalu dilakukan berulang-ulang walaupun
sudah diberi nasehat atau pengertian oleh orang lain dan ia tetap mengikutinya.
Dan mengapa EF tetap melakukannya? jawabannya ada pada ibunya, ketika EF
melakukan hal tidak baik ibunya hanya diam, sehingga EF merasa bahwa apa yang
ia lakukan adalah benar walaupun sebenarnya itu tidak baik. Dan kita tahu peran
ibu dalam kehidupan sehari-hari anak adalah sangat penting, karena hampir 24
jam kegiatan yang anak lakukan bersama dengan ibunya. Sehingga sangat penting
bagi ibu memberikan pengertian, nasehat dan penjelasan-penjelasan sederhana
kepada anaknya mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh sang anak
lakukan. Sehingga ketika berada di lingkungan sekolah maupun teman-teman sebaya
yang ada disekitar rumah ia bisa berteman dengan baik dan diharapkan dapat
meluapkan emosinya pada hal-hal yang baik dan tidak merugikan temannya. Karena
sangat berbahaya, jika EF melampiaskan emosi kepada temannya dengan “memegang
bagian sensitive”. Kemungkinan terbesar temannya akan mendapatkan trauma karena
mendapat perlakukan yang tidak baik dan EF pun dapat dijauhi oleh
teman-temannya. Dari semua kejadian saya
dapat menyimpulkan bahwa, peran orang tua (ayah dan ibu) sangat penting bagi
perkembangan anak, khusunya perkembangan sosial emosional anak.
Ø Pembahasan Materi Sosem
dengan Pola Prilaku Sosial Meniru Anak Usia 3-4 Tahun
Setelah saya mengamati Prilaku Sosem
yang terdapat pada diri EF. Disini saya akan mengaitkan perilaku tersebut
kedalam materi mengenai perkembangan sosial emosional yang saya dapat dari mata
Kuliah “Model Pengembangan Sosem AUD”.
Secara umum, yang dimaksud dengan
gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan yang ditunjukkan dengan
respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya. Elizabeth. B.
Hurlock mengatakan bahwa perkembangan sosialemosional anak khusunya
perkembangan sosial pada masa awal kanak-kanak (2-6 Tahun) terdapat 2 pola
perkembangan sosial yaitu pola perilaku sosial dan pola prilaku antisocial.
Pola prilaku sosial yaitu meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati dan
lain-lain. Sedangkan, untuk pola perilaku antisocial yaitu negativisme,
agresif, perilaku berkuasa, memikirkan diri sendiri, dan lain-lain.
Sehingga pada perkembangan perilaku
yang terdapat pada EF dapat dikatakan sebagai perkembangan sosial pada pola
perilaku sosial yaitu Meniru. Pada masa peniruan anak terhadap sesuatu yang ada
disekitarnya meningkat, yang paling menonjol meniru pembicaraan dan tindakan
orang lain. Pada prilaku EF ia cenderung meniru tindakan yang dilakukan orang
tuanya walaupun tidak jarang ia meniru apa yang orang tua (Ibu) nya katakan.
Montessori
mengatakan bahwa masa usia dini merupakan fase absorbmind yaitu masa menyerap
pikiran (Rachmawati dan Kurniati, 2014). Pada masa ini anak dengan mudah
menyerap segala sesuatu yang terjadi dilingkungannya seperti sebuah spon yang
menyerap air. Masa ini biasa disebut dengan masa the golden age atau masa
keemasan, dimana kemampuan otak anak dalam menyerap informasi sangat tinggi.
Apapun informasi yang diperoleh anak akan berpengaruh terhadap perkembangannya
dikemudian hari.
Menurut Bandura, sebagian besar
tinglah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh
tingkah laku (modeling). Pada prilaku yang ditunjukkan oleh EF, yang menjadi
model peniruannya adalah orang tua. Apa yang orang tua EF lakukan dan ia
melihatnya, maka EF melakukan hal tersebut kepada orang lain.
Proses peniruan anak terhadap segala
sesuatu yang ada disekitarnya tampak semakin meningkat. Peniruan ini tidak saja
perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang disekitarnya tetapi juga terhadap
tokoh-tokoh khayal yang sering ditampilkan di televise dan segala hal yang
dilihat serta didengarnya. Anak-anak meniru contoh di televise tidak sesering
mencontoh orang deasa yang hidup, tetapi pada saat menjelang usia 3 Tahun
mereka sama seringnya meniru kedua contoh tersebut. Seperti permasalahan
perilaku yang ada pada EF, anak berumur 3 Tahun yang saya amati, EF meniru
prilaku orang tuanya.
Anak-anak merupakan seorang peniru yang ulung.
Setiap saat, mata anak selalu mengamati, telinganya menyimak, dan pikirannya
mencerna apapun yang dilakukan orang tuanya atau orang lain. Anak mulai meniru
sejak ia lahir, dimulai dari meniru ekspresi wajah. Ketika orang tua tersenyum,
anak ikut tersenyum. Saat usia bertambah, sifat meniru masih berlanjut. Sikap
seperti apa yang orang tua tunjukkan, tanpa disadari akan ditiru oleh si kecil.
Anak belajar dari apa yang ia lihat dan ia dengar. Apa yang orang tua lakukan,
baik itu gerakan, kata-kata, atau emosi, semua menjadi sarana belajar bagi
anak.
Mulai pada usia 3 Tahun, anak meniru
perilaku, sopan santun, dan bahasa. Jika orang tuanya dalah orang yang toleran dan
selalu berkata sopan pada setiap orang, maka sangat mungkin terjadi si kecil
pun akan tumbuh menjadi orang yang seperti itu juga. Sebaliknya, jika orang
tuanya adalah orang yang berpikiran sempit dan penuh kebencian pada orng lain
yang tidak sepaham, maka sikap negative ini pun akan ditiru oleh anak, dan
menjadi dasar dasar bagaimana ia memperlakukan sesama saat dewasa nanti.
Dari hasil penelitian beberapa ahli,
terdapat beberapa faktor yang menentukan dalam imitasi, yaitu pengaruh
ketidakpastian, meniru untuk memajukan interaksi sosial, meniru untuk
mempertinggi kemiripan terhadap yang lain, timbulnya emosi sebagai dasar dari
meniru, dan meniru untuk mencapai tujuan.
Pada EF cenderung mengalami beberapa
faktor yaitu
1. Meniru
untuk memajukan interaksi sosial,
Jika orang tuanya sering tersenyum
dan memberi contoh berprilaku sopan maka anak akan mengikuti. Sedangkan pada
EF, orang tua masih berumur muda sehingga perkataan dan apa yang dia lakukan
tidak memperhatikan anaknya sehingga EF juga melakukan apa yang orang tuanya
lakukan.
2. Timbulnya
emosi sebagai dasar dari meniru
Anak-anak akan meniru orang tuanya
lebih sering disbanding meniru orang lain. Salah satu alasan mungkin disebabkan
orang tua merupakan sumber timbulnya emosi yang berkesinambungan, baik yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Sehingga pada EF, ia juga menyalurkan
emosinya seperti apa yang orangtuanya katakana.
3. Meniru
untuk mencapai tujuan.
Meniru dapat merupakan suatu usaha
hati nurani seseorang untuk mencapai kesenangan, kekuasaan, milik atau sejumlah
tujuan lain yang diinginkan. Pada prilaku EF yang saya amati ia juga cenderung
meniru untuk mencapai tujuan, ia meniru perilaku yang dilakukan orang tuanya,
sehingga ia berani melakukan hal-hal yang anak sesusianya tidak lakukan, dan ia
melakukan hal itu dengan bahagia dan tertawa. Dapat dikatakan EF meniru untuk
mencapai tujuannya.
Ø Solusi Bagi Orang Tua
Agar Anak Tidak Meniru Hal-hal Yang Kurang Baik
“Sebenarnya,
tak ada yang salah dengan perilaku meniru, karena pada dasarnya meniru adalah
proses pembelajaran alami semua makhluk hidup,” kata Rosdiana Setyaningrum,
M.Psi, MHPed, psikolog anak dan keluarga.
Dengan
begitu sebagai orang tua, harus mengerti bagaimana prilaku yang baik dan
bagaimana prilaku yang tidak baik. Agar anak yang masih dalam tahap belajar
melalui meniru ini tidak salah arah. Sehingga perkembangan anak akan sesuai
dengan usianya. Dan sebagai orang tua, harus memberikan contoh yang baik untuk
anak-anaknya. Ketika anak sedang menonton tv harus dengan bimbingan otang tua,
pilihkan acara televisi yang baik untuk perkembangan anak. Karena salah satu
media meniru untuk anak yaitu acara-acara yang ada ditelevisi. Jika orang tua
tidak memilihkan acara televisi yang baik untuk anak, maka prilaku-prilaku yang
ada ditelevisi dapat anak terapkan kedalam kehidupan sehari-harinya. Begitu
juga orang tua memberikan izin kepada anak untuk membuka Youtube, ketika anak
membuka youtube orang tua harus selalu mengawasi kegiatannya.Karena kita tahu
bahwa pada aplikasi Youtube anak dapat mengakses segala hal, hal baik maupun
buruk.
Hal
paling berpengaruh dalam hidup anak adalah contoh tindakan dan sikap mental
dari orangtuanya sendiri.Mendidik anak dan memberikan contoh yang baik untuk
anak yaitu dengan :
1. Memberikan
Pendidikan Agama. Hal ini bisa diimplementasikan dengan cara orang tua
menyertakan anak dalam beribadah, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja.
2. Ekspresikan
Kasih Sayang Kepada Anak. Orang tua juga perlu untuk membiasakan
mengekspresikan rasa sayang orang tua kepada anak dengan memberikan pelukan
atau pun sentuhan hangat.
3. Ajarkan
Adap Etika. Orang tua dapat mengajarkan kepada anak bagaimana berperilaku yang
baik.
Ø Referensi
Elizabeth B. Hurlock (1978).
Perkembangan Anak (Jilid 1 Edisi Keenam). Jakarta : Erlangga.
Rachnawati dan Kurniati. 2010.
Stategi Pengembangan Kreativitas Pada Anak. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
https://www.kompasiana.com/wildantoci/sekilas-tentang-paud-pendikan-anak-usia-dini_54f83985a33311641e8b54ae
diakses pada tanggal 19 Mei 2018
http://www.parenting.co.id/balita/anak+belajar+lewat+meniru
diakses pada tanggal 19 Mei 2018
http://www.jejakpendidikan.com/2016/09/pengertian-anak-usia-dini.html?m=1
diakses pada tanggal 19 Mei 2018
http://khikmanizz.blogspot.co.id/2014/03/hakikat-pendidikan-anak-usia-dini.html?m=1
diakses pada tanggal 22 Mei 2018
Komentar